Sejarah Perang Aceh: Jihad, Keberanian dan Harga Diri Bangsa

Daftar Isi

Pada pertengahan abad ke-19, Aceh bukan sekadar wilayah di ujung barat Nusantara. Ia adalah pusat perdagangan internasional yang disegani, dengan pelabuhan-pelabuhan sibuk yang menghubungkan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa. 

Sultan-sultan Aceh dikenal sebagai penguasa yang kuat, memiliki jaringan diplomatik hingga ke Turki Utsmani dan Arab.

Namun, kekayaan itu justru mengundang ambisi kolonial Belanda. Setelah menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara, Belanda mengarahkan pandangannya ke Aceh, wilayah yang masih merdeka dan berpengaruh.

Kepentingan Kolonial di Balik Upaya Penaklukan

Bagi Belanda, menguasai Aceh berarti menguasai jalur strategis Selat Malaka. Di sisi lain, Inggris dan Perancis juga memiliki kepentingan dagang di kawasan ini. Ketegangan politik antara kekuatan Eropa membuat Aceh menjadi sasaran penting.

Belanda menggunakan dalih diplomatik untuk menekan Aceh. Mereka menganggap perjanjian-perjanjian lama antara Kesultanan Aceh dan bangsa Eropa sudah tidak berlaku. Padahal, Aceh tetap menjalin hubungan baik dengan dunia Islam dan berupaya menjaga kedaulatannya.

Situasi Internal Aceh Menjelang Perang

Menjelang tahun 1859, Kesultanan Aceh menghadapi dinamika politik dalam negeri. Sultan Alaiddin Mansyur Syah, yang memerintah saat itu, berupaya menjaga kestabilan kerajaan di tengah tekanan eksternal dan konflik internal. Sejumlah uleebalang (panglima daerah) mulai menunjukkan perbedaan pandangan terhadap pusat kekuasaan.

Meski demikian, rakyat Aceh tetap memiliki semangat tinggi dalam mempertahankan marwah kesultanan. Ulama dan tokoh agama memainkan peran penting dalam membangkitkan semangat jihad melawan penjajah.

Awal Mula Konflik: Diplomasi Gagal, Meriam Menyalak

Konflik terbuka dimulai pada 1873. Sebelumnya, Belanda telah mengirim utusan diplomatik untuk “menyelesaikan” hubungan dengan Aceh. Namun, negosiasi berakhir buntu karena Aceh menolak tunduk pada kekuasaan kolonial.

Pada Maret 1873, Belanda mengirim pasukan besar dari Batavia untuk menyerang Banda Aceh. Perang pun pecah. Dalam serangan pertama, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Jenderal Köhler mendarat di pantai Aceh. Namun perlawanan rakyat sangat kuat. Köhler tewas di medan pertempuran, dan Belanda terpaksa mundur.

Perlawanan Rakyat Aceh: Jihad dan Strategi Gerilya

Kegagalan serangan pertama membuat Belanda kaget. Mereka tidak menyangka pasukan Aceh yang bersenjata sederhana mampu menggagalkan ekspedisi militer modern. Perlawanan rakyat Aceh bukan hanya perang fisik, tapi juga perang keyakinan.

Ulama-ulama besar seperti Teungku Chik di Tiro, Teungku Chik Lam Krak, dan Teungku Cik Pante Kulu menyeru rakyat untuk berjihad fi sabilillah. Mereka menyatukan rakyat dalam satu semangat, membela agama dan tanah air.

Sementara itu, para panglima perang seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan Panglima Polem menjadi simbol keberanian. Mereka menggunakan taktik gerilya di hutan dan perbukitan, menyerang pos-pos Belanda lalu menghilang dengan cepat.

Strategi Belanda: Dari Serangan Terbuka ke Politik Pecah Belah

Belanda belajar dari kegagalan awal. Dalam serangan kedua tahun 1874, mereka datang dengan kekuatan lebih besar, didukung kapal perang, artileri, dan pasukan kolonial dari berbagai wilayah Hindia Belanda.

Istana Sultan di Kutaraja berhasil direbut, dan Sultan Mahmud Syah dikabarkan wafat akibat sakit. Namun, meski istana jatuh, perang belum selesai. Justru di sinilah perang Aceh berubah menjadi perang rakyat semesta.

Belanda kemudian menjalankan strategi “devide et impera” politik pecah belah. Mereka berusaha memisahkan para uleebalang dari pengaruh ulama. Beberapa pemimpin lokal diajak berunding, sebagian lain diperangkap dengan janji jabatan dan uang. Namun tidak semua tunduk.

Peran Ulama dan Perempuan dalam Perjuangan Aceh

Salah satu hal yang membuat Perang Aceh berbeda dari perang lainnya di Nusantara adalah peran besar ulama dan perempuan. Para ulama tidak hanya menjadi penggerak spiritual, tetapi juga pemimpin perang.

Tokoh seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia menjadi simbol keberanian wanita Aceh. Mereka memimpin pasukan di garis depan, bahkan ketika kehilangan suami dan anak-anaknya. Bagi mereka, kemerdekaan lebih berharga dari hidup itu sendiri.

Cut Nyak Dien dikenal karena keteguhannya. Setelah Teuku Umar gugur, ia tetap melanjutkan perlawanan hingga akhirnya tertangkap dan diasingkan ke Sumedang. Namun semangatnya tetap hidup dalam ingatan rakyat.

Keruntuhan Kesultanan, Tapi Bukan Akhir Perlawanan

Pada 1874, Belanda secara sepihak menyatakan bahwa Kesultanan Aceh telah “berakhir”. Mereka menganggap wilayah Aceh sudah menjadi bagian dari Hindia Belanda. Namun kenyataannya berbeda.

Perlawanan rakyat terus berlanjut selama puluhan tahun. Gerilya di pedalaman masih terjadi, bahkan hingga awal abad ke-20. Setiap kali Belanda mengira perang selesai, muncul lagi tokoh baru yang memimpin perjuangan.

Aceh menjadi simbol keteguhan hati bangsa Indonesia melawan penjajahan. Dari sinilah muncul semangat nasionalisme yang kelak menginspirasi pergerakan di seluruh Nusantara.

Warisan Sejarah: Semangat Aceh dalam Jiwa Indonesia

Perang Aceh (1873-1904) bukan sekadar konflik antara dua kekuatan, tapi pertempuran antara penjajahan dan harga diri bangsa. Ulama, sultan, dan rakyat bersatu dalam satu tekad mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan.

Kini, lebih dari satu abad kemudian, semangat itu masih terasa. Aceh tetap dikenal sebagai daerah yang teguh dalam mempertahankan nilai-nilai agama dan keadilan. Pahlawan-pahlawan Aceh seperti Cut Nyak Dien, Teuku Umar, dan Sultan Mahmud Syah dikenang sebagai bagian penting dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Perang Aceh mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak datang dari negosiasi, tetapi dari keberanian untuk melawan ketidakadilan, sekecil apa pun kekuatan yang dimiliki.

Posting Komentar