Pulau Rubiah: Pintu Transit dan Karantina Jamaah Haji Era Kolonial
Pulau Rubiah, permata laut Sabang, Aceh, bukan hanya memanjakan mata, tetapi juga membawa kita menelusuri jejak sejarahnya. Pada era Hindia Belanda sekitar tahun 1920, di sinilah berdiri pusat karantina haji pertama di Sumatera.
Pulau Rubiah menjadi pusat transit dan karantina bagi calon jamaah haji dari Sumatera dan sekitarnya sebelum berangkat atau setelah tiba dari Tanah Suci.
Kompleks karantina ini dibangun di lahan seluas sekitar 10 hektare dan mencakup berbagai fasilitas modern pada zamannya penginapan, rumah sakit, kamar mandi, laundry, dan listrik.
Jamaah menjalani karantina selama kurang lebih 40 hari baik sebelum keberangkatan maupun setelah pulang, untuk memastikan mereka bebas dari penyakit menular seperti kolera atau flu Spanyol yang melanda saat itu.
Selama masa karantina, para jamaah mengikuti manasik haji serta menjalani pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Begitu hasil pemeriksaan menyatakan mereka sehat, jamaah menaiki kapal kecil yang mengantar dari dermaga Pulau Rubiah ke kapal besar, awal dari pelayaran panjang menuju Tanah Suci.
Selain tujuan kesehatan, Belanda membangun pusat karantina ini untuk meredam ketegangan politik di Aceh, dengan cara “menarik simpati” kaum Muslim setempat.
Pada masa pendudukan Jepang, bangunan karantina dialihfungsikan menjadi barak militer. Saat Belanda menyerang kembali pada 1944, sebagian bangunan hancur akibat pengeboman karena digunakan sebagai tempat persembunyian tentara Jepang.
Kini, hanya tersisa dua bangunan tua yang tidak terawat, sebagian besar telah hancur atau hilang tertelan waktu dan semak belukar.
Namun, pulau ini tetap menyimpan nilai sejarah penting dan kini menjadi tujuan wisata snorkeling/diving dengan keindahan taman laut yang memukau.
Pemerintah Kota Sabang saat ini tengah mengupayakan revitalisasi situs tersebut sebagai destinasi wisata heritage, mendapat dukungan dari Ikatan Arsitek Indonesia.
Di balik pesona lautnya, Pulau Rubiah menyimpan kisah sebagai gerbang pertama perjalanan suci umat Muslim Indonesia di era kolonial.
Warisan arsitektural dan nilai trajisnya kini perlahan memudar, namun kisahnya tetap relevan mengingatkan kita akan upaya panjang bangsa ini dalam menunaikan panggilan haji di tengah dinamika pajang masa. Upaya pelestarian menjadi penting agar generasi mendatang tidak melupakan jejak bersejarah ini. []
Posting Komentar