Makam Teungku Syik Di Bitay, Simbol Abadi Persahabatan Aceh dan Turkiye
Banda Banda Aceh menjadi salah satu destinasi menarik bagi para pecinta wisata sejarah. Di kota ini, dapat ditemukan jejak sejarah panjang hubungan antara Aceh dan Turkiye yang telah terjalin sejak abad ke-15.
Sejak masa tersebut, Aceh telah memahami secara mendalam nilai-nilai Islam serta menjalin hubungan bilateral yang erat dengan Kesultanan Ottoman (Turkiye).
Pada masa ketika penjajah Portugis berambisi menguasai jalur perdagangan strategis di Sumatera, Kerajaan Aceh pun mengambil sikap berani. Dalam upayanya, Aceh membangun aliansi strategis dengan Kekaisaran Ottoman guna menghadapi ancaman bersama serta menjaga kemerdekaan dan kedaulatannya.
Turkiye memberikan dukungan besar berupa pasukan, produsen senjata, insinyur, serta suplai senjata dan amunisi yang melimpah. Bantuan ini sangat membantu Kerajaan Aceh untuk bertahan dan memperkuat kekuasaannya.
Selain itu, rakyat dari Kesultanan Utsmaniyah juga mengajarkan tentara Aceh cara membuat meriam. Pengetahuan ini kemudian diadopsi dan diproduksi secara luas, yang berperan penting pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, saat Aceh mencapai puncak kejayaannya.
Salah satu jejak hubungan ini bisa ditemukan di Gampong Bitai, sebuah desa pesisir di dekat Banda Aceh yang dikenal sebagai “Desa Warisan Turkiye.” Di sini terdapat makam Teungku Di Bitay dan makam Sultan Salahuddin, dua sosok penting yang menjadi simbol eratnya hubungan diplomatik antara Aceh dan Kesultanan Ottoman.
Teungku Di Bitay adalah seorang ulama yang diutus oleh Kesultanan Utsmaniyah ke Aceh dan kemudian menjadi sahabat dekat Sultan Salahuddin, penguasa Aceh pada abad ke-15.
Saksi Bisu Hubungan Diplomatik Aceh-Turkiye
Makam Teungku Di Bitay menjadi salah satu bukti nyata hubungan diplomatik yang kuat antara Aceh Darussalam dan Kekaisaran Ottoman.
Hubungan tersebut tidak hanya berlandaskan pada kepentingan perdagangan dan militer, tetapi juga didasari oleh ikatan agama Islam yang dianut kedua kerajaan. Hal ini menjadikan kedua negara saling mendukung dalam penguatan dan penyebaran ajaran Islam.
Menurut dokumen sejarah, Tengku Di Bitay sesungguhnya bernama Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi. Ia datang ke Aceh bersama pasukan Ottoman untuk membantu mempertahankan Aceh dari serangan Portugis sekaligus menyebarkan Islam.
Sultan Salahuddin dan Muthalib Ghazi bin Mustafa Ghazi, yang diutus oleh Sultan Selim dari Kesultanan Ottoman, menjalin persahabatan yang erat.
Setelah masa Sultan Salahuddin, hubungan antara Aceh Darussalam dan Kekaisaran Ottoman terus terjaga. Salah satu penguasa yang melanjutkan hubungan ini adalah Sultan Alauddin Riayat Shah al-Qahar, yang dikenal luas sebagai pemimpin kuat Kerajaan Aceh Darussalam. []
Posting Komentar