Bagaimana Islam Memandang Seorang Pemimpin?
Pemimpin negara adalah faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika ingin rakyatnya makmur dan sejahtera, maka sebuah negara harus mempunyai pemimpin yang jujur, cerdas, amanah serta menyampaikan kebenaran.
Namun, apabila yang terjadi justru sebaliknya, yakni seorang pemimpin bersikap tidak jujur, kurang cakap, menyalahgunakan kekuasaan, dan bertindak zalim terhadap rakyat, maka akibat yang timbul adalah penderitaan dan keterpurukan di tengah masyarakat yang dipimpinnya.
Umat Islam memiliki pedoman yang tegas dan otoritatif dalam menentukan atau menjalankan kepemimpinan, yakni melalui ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis. Paling tidak ada dua hal yang mesti dipahami oleh umat Islam tentang hakikat kepemimpinan.
Pertama, dalam perspektif Al-Qur’an, kepemimpinan tidak semata-mata dipandang sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat, melainkan merupakan amanah ilahiyah, sebuah perjanjian suci antara pemimpin dan Allah SWT.
Kepemimpinan bukanlah posisi yang layak diperebutkan atau dikejar demi ambisi pribadi, karena sejatinya ia merupakan amanah dari Allah SWT. Kekuasaan yang menyertainya bukan untuk dimuliakan, tetapi digunakan sepenuhnya dalam rangka menunaikan tanggung jawab, yaitu melayani dan menyejahterakan rakyat.
Semakin besar kekuasaan seseorang pemimpin, seharusnya semakin meningkat pula pelayanan terhadap rakyatnya. Bukan terjadi sebaliknya, kekuasaan itu digunakan untuk memperkaya diri atau kelompoknya, zalim dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Balasan atau upah seorang pemimpin bukan kekayaan dan kemewahan hidup di dunia, melainkan hanya balasan dari Allah SWT di akhirat kelak.
Sahabat Rasulullah, Abu Dzar pada ada sutu ketika meminta sebuah jabatan kepda Rasulullah, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda:
Kamu memang lemah, dan amanah ini bisa menjadi sumber kehinaan serta penyesalan di akhirat jika diabaikan. (H.R. Muslim)
Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika seseorang sahabatnya meminta suatu jabatan kepada beliau, dimana orang tersebut berkata:
“Ya Rasulullah, berilah kepada kami jabatan pada salah satu bagian yang telah dianugerahkan Allah kepadamu”. Kemudian, Rasulullah menjawab: “Demi Allah kami tidak mengangkat seseorang pada suatu jabatan kepada orang yang menginginkan atau ambisi pada jabatan itu” (H.R. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah antitesis dari segala bentuk ketidakadilan, termasuk penindasan, kekerasan, dan perlakuan yang diskriminatif. Keadilan itu jangan hanya dirasakan oleh sebagian pihak dan golongan, tapi keadilan itu harus dirasakan oleh semua golongan rakyatnya.
Diantara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang.
Karena itulah, Islam telah menegaskan petunjuk yang gamblang dalam hal pemilihan pemimpin yang berkualitas. Allah SWT secara tegas memerintahkan dalam Al-Qur’an agar umat memilih pemimpin yang beriman dan memiliki akhlak mulia.
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin jika mereka lebih mengutamakan kekufuran daripada keimanan. Barang siapa yang tetap menjadikan mereka pemimpin, maka sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang zalim.
(Q.S. At-Taubah: 23)
Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kerabat. Allah juga melarang perbuatan keji, kemungkaran, serta permusuhan. Semua ini Dia ajarkan agar kalian dapat mengambil pelajaran.
(Q.S. An-Nahl: 90)
Wallahua’lam Bissawab.
✪ Artikel ini ditulis oleh: Yusri Razali
Posting Komentar