80 Tahun Merdeka, Bocah Gowa Masih Harus Mengais Sisa Snack Pejabat
Gelaran upacara HUT ke-80 RI di Lapangan Sultan Hasanuddin, Gowa, Sulawesi Selatan, idealnya menghadirkan suasana hangat, penuh energi, dan kebahagiaan bagi masyarakat.
Namun, dibalik euforia kemerdekaan, publik dibuat tercengang oleh video yang beredar luas. Dua anak kecil, Syamsul (7) dan Muhammad Aidil (7), tampak mengumpulkan kotak snack yang berserakan setelah ditinggalkan pejabat.
Adegan sederhana itu mendadak jadi sorotan nasional menyentuh hati, sekaligus menyayat rasa keadilan sosial.
Potret yang Menggugah Nurani
Dalam video, terlihat kotak snack berwarna putih berserakan di kursi tamu undangan. Syamsul dan Aidil dengan cekatan mengambil makanan yang tersisa, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik lusuh.
Gambar itu seolah menyandingkan dua dunia berbeda: kemewahan pejabat dengan keterbatasan rakyat kecil.
Ironi di Hari Kemerdekaan
Hari ulang tahun bangsa seharusnya melambangkan kebersamaan dan semangat kemerdekaan. Namun, apa yang terjadi di Gowa justru memperlihatkan wajah lain, anak-anak kecil yang harus mengandalkan sisa perayaan untuk sekadar mengisi perut.
Sebuah kenyataan yang menampar klaim bahwa semua rakyat sudah benar-benar merdeka.
Kisah Syamsul & Aidil
Dua anak kecil yang wajahnya kini ramai diperbincangkan, Syamsul dan Aidil, berasal dari sebuah sudut di Kecamatan Somba Opu, Gowa.
Keduanya baru berusia tujuh tahun. Apa yang mereka lakukan bukanlah mencari sensasi, melainkan cara polos untuk mendapatkan makanan yang bisa dibawa pulang.
Di balik tawa kecil mereka, tersimpan cerita tentang keluarga yang masih bergelut dengan kebutuhan dasar.
Gelombang Reaksi Publik
Media sosial sontak dipenuhi komentar bernada getir sekaligus penuh empati. Banyak warganet menilai peristiwa itu sebagai bukti nyata bahwa kesenjangan masih menganga:
“Ambil saja nak, itu masih rezekimu. Yang tak pantas justru mereka yang membuangnya.”
“Delapan puluh tahun merdeka, tapi anak-anak kita masih harus memungut sisa. Ironis.”
Respons publik ini memperlihatkan betapa tajamnya rasa kecewa terhadap pengelolaan negara yang belum sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan.
Langkah Cepat Aparat
Di tengah ramainya kritik, Kapolres Gowa, AKBP Muh Aldy Sulaiman, turun langsung menemui keluarga Syamsul dan Aidil. Tindakannya dianggap sebagai bentuk empati, sekaligus isyarat bahwa aparat tidak menutup mata terhadap kenyataan di lapangan.
Meski begitu, banyak pihak menilai langkah ini baru sebatas respons sesaat, belum menyentuh akar masalah.
Cermin Ketimpangan Sosial
Video tersebut kini menjadi simbol krisis yang lebih luas: kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial. Di saat bangsa merayakan kemerdekaan dengan penuh kebanggaan, ada rakyat kecil yang masih berjuang sekadar untuk makan dari sisa pesta.
Pertanyaannya, sudahkah kemerdekaan benar-benar milik semua orang?
Refleksi
Kisah Syamsul dan Aidil seharusnya menjadi panggilan hati bagi pemerintah dan masyarakat.
Kemerdekaan sejatinya tak boleh dibatasi pada seremoni dan tanda-tanda formal semata. Ia harus diwujudkan dalam bentuk nyata: akses pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar yang merata bagi seluruh rakyat.
Hakikatnya, arti kemerdekaan tidak hanya diukur dari berakhirnya penjajahan, tetapi dari bagaimana rakyat terbebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan di negri sendiri. []